Kamis, 15 Juni 2017

Otonan Ala Pedawa



Otonan berasal dari kata “pawetuan”, yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama Hindu di Bali yang didasarkan pada Sapta wara, Panca wara, dan Wuku. Dalam kalender Bali otonan dirayakan setiap 210 hari(setiap 6 bulan).
Otonan tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan kepada setiap orang yang melaksanakan otonan. Tidak ada gunanya otonan yang besar namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang yang lebih tua, akan sia-sia upacara otonan itu jika hanya untuk pamer kepada tetangga. Otonan harus dapat merubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih baik kepada orang tua, saudara, dan masyarakat.
Otonan yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara otonan terkandung makna bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya. Jika dalam tradisi Hindu Bali merayakan hari ulang tahun bukanlah merupakan suatu hal yang wajib untuk dilakukan akan tetapi beda halnya dengan Otonan. Karena di hari itu kita memanjatkan puja kepada Sang Hyang Widhi karena atas perkenan-Nya roh/ atma bisa menjelma kembali menjadi manusia, serta mohon keselamatan dan kesejahteraan dalam menempuh kehidupan.
Dalam penetapan hari otonan tidaklah boleh asal-asalan atau tidak boleh keliru. Karena dalam lontar pawacakan dan lontar jyotisha, jika keliru dalam penetapan otonan anaknya akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam menentukan hari otonan yang harus dijadikan patokan adalah sistem kalender Saka-Bali. Yang mana dalam pergantian hari atau tanggal yaitu ketika matahari terbit(sekitar jam 6 pagi).

Jika untuk bayi, otonan pertama kali dilakukan ketika sudah berumur 105 hari, karena organ tubuh dianggap sudah berkembang sempurna dan semua panca indra sudah aktif,dimana panca indra anak itu dapat membawa dampak positif dan negatif pada kesucian jiwa, sehingga harus di lakukan Otonan /upacara tiga bulanan.  Dimana jika belum di lakukan Otonan /diupacarai tiga bulanan, maka anak itu masih “Cuntaka” atau  belum suci.
Di salah satu desa Baliaga, yaitu Desa Pedawa dikenal dengan adanya upacara Majerimpen. Majerimpen sama dengan otonan. Namun di desa ini upacara ini termasuk upacara yang unik karena upacara majerimpen  harus dilakukan setiap hari raya Galungan, karena disaat hari Raya Galungan  hal ini dipercaya oleh para tetua di Desa Pedawa adalah hari turunnya para leluhur yang sudah meninggal, dan dengan turunnya leluhur tersebut, leluhur tersebut dipercaya sebagai saksi dalam pelaksanaan upacara majarimpen ini. Upacara majerimpen ini merupakan upacara yang wajib dilakukan di desa ini. Upacara majerimpen ini ada 2 jenis, yaitu : majerimpen dengan wayang dan majerimpen tanpa wayang. Bedanya adalah ada atau tidaknya  wayang di dalam prosesi upacara majerimpen tersebut dan juga banten yang digunakan sebagai sarana lebih banyak jika melakukan majerimpen mewayang.
Adapun tradisi yang biasa dilakukan sebelum dan sesudah upacara majerimpen mewayang adalah :
1.      Kayeh
Kayeh atau biasa kita kenal sebagai mandi, tetapi kayeh menurut Desa Baliaga Pedawa ini merupakan upacara sakral yang dilakukan untuk membersihkan diri dan mensucikan diri sebelum upacara majerimpen.
2.      Majerimpen
Di dalam prosesi majerimpen ini orang yang majerimpen sembahyang diiringi dengan kekidungan dan lagu-lagu suci.

3.      Melukat Wayang
Setelah dilakukan pewayangan oleh Dalang, orang yang mejerimpen disuruh natab dan dipakaikan gelang putih. Setelah itu dilakukan penglukatan wayang oleh Dalang dari wayang tersebut.
4.      Natab Kuningan
Natab kuningan ini dilakukan setelah upacara majerimpen selesai yaitu pada saat Hari Raya Kuningan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TADA SUKLA: BANTEN GALUNGAN DESA PEDAWA

                        Gambar di atas merupakan “ Tada Sukla ” salah satu s...