Otonan
berasal dari kata “pawetuan”, yaitu peringatan hari lahir menurut tradisi agama
Hindu di Bali yang didasarkan pada Sapta wara, Panca wara, dan Wuku. Dalam
kalender Bali otonan dirayakan setiap 210 hari(setiap 6 bulan).
Otonan
tidak mesti dibuatkan upacara yang besar dan mewah, yang terpenting adalah
nilai rohaninya, sehingga nilai tersebut dapat mentransformasikan pencerahan
kepada setiap orang yang melaksanakan otonan. Tidak ada gunanya otonan yang
besar namun si anak tidak pernah diajarkan untuk sungkem dan hormat pada orang
yang lebih tua, akan sia-sia upacara otonan itu jika hanya untuk pamer kepada
tetangga. Otonan harus dapat merubah perilaku yang tidak benar menjadi tindakan
yang santun, hormat, bijaksana dan welas asih baik kepada orang tua, saudara,
dan masyarakat.
Otonan
yang dilaksanakan dengan sadhana akan mengarahkan orang tersebut kepada
realisasi diri yang tertinggi. Karena dalam upacara otonan terkandung makna
bahwa kita berasal dari Brahman dan harus kembali kepadaNya. Jika dalam tradisi
Hindu Bali merayakan hari ulang tahun bukanlah merupakan suatu hal yang wajib
untuk dilakukan akan tetapi beda halnya dengan Otonan. Karena di hari itu kita
memanjatkan puja kepada Sang Hyang Widhi karena atas perkenan-Nya roh/ atma
bisa menjelma kembali menjadi manusia, serta mohon keselamatan dan
kesejahteraan dalam menempuh kehidupan.
Dalam
penetapan hari otonan tidaklah boleh asal-asalan atau tidak boleh keliru.
Karena dalam lontar pawacakan dan lontar jyotisha, jika keliru dalam penetapan
otonan anaknya akan mengalami hal-hal yang tidak diinginkan. Dalam menentukan
hari otonan yang harus dijadikan patokan adalah sistem kalender Saka-Bali. Yang
mana dalam pergantian hari atau tanggal yaitu ketika matahari terbit(sekitar
jam 6 pagi).
Jika
untuk bayi, otonan pertama kali dilakukan ketika sudah berumur 105 hari, karena
organ tubuh dianggap sudah berkembang sempurna dan semua panca indra sudah
aktif,dimana panca indra anak itu dapat membawa dampak positif dan negatif pada
kesucian jiwa, sehingga harus di lakukan Otonan /upacara tiga bulanan. Dimana jika belum di lakukan Otonan
/diupacarai tiga bulanan, maka anak itu masih “Cuntaka” atau belum suci.
Di
salah satu desa Baliaga, yaitu Desa Pedawa dikenal dengan adanya upacara
Majerimpen. Majerimpen sama dengan otonan. Namun di desa ini upacara ini
termasuk upacara yang unik karena upacara majerimpen harus dilakukan setiap hari raya Galungan,
karena disaat hari Raya Galungan hal ini
dipercaya oleh para tetua di Desa Pedawa adalah hari turunnya para leluhur yang
sudah meninggal, dan dengan turunnya leluhur tersebut, leluhur tersebut
dipercaya sebagai saksi dalam pelaksanaan upacara majarimpen ini. Upacara
majerimpen ini merupakan upacara yang wajib dilakukan di desa ini. Upacara
majerimpen ini ada 2 jenis, yaitu : majerimpen dengan wayang dan majerimpen
tanpa wayang. Bedanya adalah ada atau tidaknya
wayang di dalam prosesi upacara majerimpen tersebut dan juga banten yang
digunakan sebagai sarana lebih banyak jika melakukan majerimpen mewayang.
Adapun
tradisi yang biasa dilakukan sebelum dan sesudah upacara majerimpen mewayang
adalah :
1. Kayeh
Kayeh
atau biasa kita kenal sebagai mandi, tetapi kayeh menurut Desa Baliaga Pedawa
ini merupakan upacara sakral yang dilakukan untuk membersihkan diri dan
mensucikan diri sebelum upacara majerimpen.
2. Majerimpen
Di
dalam prosesi majerimpen ini orang yang majerimpen sembahyang diiringi dengan
kekidungan dan lagu-lagu suci.
3. Melukat
Wayang
Setelah
dilakukan pewayangan oleh Dalang, orang yang mejerimpen disuruh natab dan
dipakaikan gelang putih. Setelah itu dilakukan penglukatan wayang oleh Dalang
dari wayang tersebut.
4. Natab
Kuningan
Natab
kuningan ini dilakukan setelah upacara majerimpen selesai yaitu pada saat Hari
Raya Kuningan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar